Senin - Sabtu 08.00-15.00

cs@anaslawoffice.com

Rekonseptualisasi Eksistensi DPD dalam Bingkai NKRI

Eksistensi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam sistem ketatanegaraan Indonesia tidak menjamin adanya peran yang signifikan dalam rangka mengawal proses jalannya roda bernegara sesuai dengan cita-cita kemerdekaan dan reformasi 1998. Keberadaan lembaga DPD tidak dibarengi dengan wewenang dan fungsi yang optimal untuk mengakselerasi apa yang menjadi tugas dan fungsi pokoknya (tupoksi). Minimnya fungsi DPD terlihat jelas dalam beberapa Pasal di Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). Fakta tersebut yang membuat persepsi masyarakat terhadap lembaga DPD sangat skeptis dan menganggap DPD hanya sebatas aksesoris demokrasi. Padahal pandangan buruk itu terbentuk oleh karena minimnya tugas dan fungsi DPD, bukan karena kualitas apalagi kapabilitas dari anggota DPD itu sendiri. Oleh karena itu penting sekiranya untuk mengajukan sebuah proposisi untuk merekonseptualisasi kedudukan dan fungsi DPD dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia agar cita-cita dan tujuan awal pembentukan DPD dapat diaktualisasikan dalam kerja-kerja kenegaraan.

Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai representasi kepentingan daerah keberadaannya sangat signifikan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Kedudukan DPD diakomodir dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) dalam Pasal 22D ayat (1), (2), dan (3). Sayangnya, apabila ditelisik pengaturan tersebut, tugas dan fungsi pokok (tupoksi) DPD sangat terbatas jika dibandingkan dengan lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR. Ketimpangan fungsi antara dua lembaga perwakilan itu amat riskan mengingat pada hakikatnya DPD dihadirkan ke dalam struktur kenegaraan Indonesia sebagai sparing partner yang seharusnya mempunyai fungsi dan wewenang yang setara.

Refly Harun berpandangan bahwasannya secara konstitusional kelahiran DPD memiliki legal reasoning yang berbeda dibandingkan dengan DPR dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Kelembagaan DPR lahir sebagai perwakilan sejumlah penduduk (dapil) dan partai politik sedangkan DPD mewakili kepentingan daerah (representasi territorial). Jadi sejak awal karakter dua lembaga parlemen di atas memiliki perbedaan yang signifikan dan tidak dapat disamakan antara satu dengan yang lain. Karakter DPD sebagai perwakilan daerah harus dijaga jangan sampai di delegitimasi oleh pihak-pihak tertentu. Pentingnya menjaga lambaga yang sudah ada dikarenakan semangat perubahan yang dulu digaungkan ketika reformasi lahir.

Secara teoretis dengan mendasarkan pandangan di atas maka logika hukumnya posisi DPR dan DPD sejajar dan proporsional karena mewakili jenis kepentingan yang berbeda. Namun idealita konstitusi berkata hal yang berbeda dengan memosisikan DPD seperti lembaga nomor dua dalam sistem perwakilan Indonesia. Hal itu yang menyebabkan wacana untuk melemahkan bahkan membubarkan lembaga DPD hingga hari ini tetap muncul dan menjadi diskursus publik. Begitupun juga perdebatan mengenai penguatan kelembagaan DPD yang masih ditangkap oleh algoritma masyarakat dan menjadi isu liar dalam arti setiap orang bisa berkomentar dan memberi pandangannya mengenai isu tersebut. Perihal yang melatarbelakangi mengapa wacana/isu itu muncul disebabkan oleh kinerja DPD yang selama kurang lebih 2 dekade ini sangat minim bahkan bisa dikatakan hidup segan mati tak mau.

Pengkerdilan institusi perwakilan daerah

Indonesia merupakan negara hukum yang menganut prinsip-prinsip demokrasi. Terminologi lain dari istilah di atas ialah negara yang berdasarkan nomokrasi dimana demokrasi di dasari konstitusi atau demokrasi konstitusional. Konsep demokrasi konstitusional mengandaikan sebuah tatanan hukum yang mencerminkan nilai-nilai kedaulatan rakyat. Salah satu institusi yang mewakili konsep tersebut yaitu kelembagaan DPD yang merepresentasikan suara rakyat daerah dan kelembagaan DPR yang mewakili suara partai politik.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) sebagai konstitusi negara memberikan wewenang sekaligus batasan kepada setiap lembaga negara dalam menjalankan tugas kenegaraannya melalui norma hukum. Begitupun halnya fungsi dan wewenang DPD sebagai lembaga representasi daerah yang termaktub dalam Pasal 22D ayat (1) UUD NRI 1945 yang berbunyi “DPD dapat mengajukan kepada DPR RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah”.

DPD sebagai representasi teritorial (political territorial) mengemban tugas untuk menyalurkan aspirasi daerah. Kepentingan itu ia terjemahkan dalam kerja-kerja kenegaraannya baik secara formal maupun informal. Sering kali kepentingan daerah tidak dapat terucapkan dalam ruang-ruang formal oleh karena wewenang dan fungsi yang tidak cukup kuat.

Pada dasarnya kemunculan DPD dalam struktur kenegaraan Indonesia sedikit banyak memberikan asa terhadap postur Parlemen yang selama Orde Baru dihegemoni oleh rezim penguasa sehingga legitimasi rakyat terhadap Lembaga Parlemen sangat minim. Keberadaan DPD dalam sistem ketatanegaraan merupakan angin segar tatkala euforia reformasi bergeming secara bertalu-talu. DPD diharapkan menjadi pelopor perbaikan lembaga parlemen yang selama beberapa dasawarsa tidak menampakan diri sebagai komunitas pengawas eksekutif. Hal tersebut sungguh riskan mengingat Indonesia yang menganut sistem check and balances dimana pada prinsipnya lembaga eksekutif dan legislatif setara walaupun memiliki fungsi yang berbeda-beda.

Asa yang dimiliki masyarakat tidaklah bersifat utopis mengingat konsep parlemen yang dianut Negara Indonesia merupakan sistem parlemen bikameral yang mana dalam sistem tersebut terdapat dua lembaga yakni DPR dan DPD. Secara teoretis sistem parlemen dua kamar (bikameral) mempunyai kelebihan dibandingkan sistem parlemen satu kamar (unikameral). Logikanya sudah pasti bahwa sistem tersebut akan lebih ketat dalam mengawasi kebijakan yang akan, sedang, dan sudah di ambil oleh eksekutif (pemerintah) karena proses yang dikenal secara berlapis (double check) dalam sistem kontrol bikameral membuat kebijakan eksekutif akan lebih dapat di awasi secara terus-menerus sebagai upaya mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).

Wacana untuk melemahkan bahkan membubarkan lembaga DPD hingga hari ini tetap muncul dan menjadi diskursus publik. Begitupun juga perdebatan mengenai penguatan kelembagaan DPD yang masih ditangkap oleh algoritma masyarakat dan menjadi isu liar dalam arti setiap orang bisa berkomentar dan memberi pandangannya mengenai isu tersebut. Perihal yang melatarbelakangi mengapa wacana/isu itu muncul disebabkan oleh kinerja DPD yang selama kurang lebih 2 dekade ini sangat minim bahkan bisa dikatakan hidup segan mati tak mau.

Tugas pokok dan fungsi yang diamanatkan oleh undang-undang di atas begitu mencerminkan ketidakberdayaan DPD di hadapan lembaga DPR dan Presiden. Hal itu terlihat dari frasa “memberikan pertimbangan” dimana makna dari rumusan pasal tersebut hanya sekedar formalitas belaka atau tidak mempunyai daya ikat sama sekali. Misalnya dalam hal legislasi, DPD hanya diberikan otoritas untuk ikut membahas hanya dalam beberapa aspek. Pengajuan dan pembahasan undang-undang selain yang disebutkan Pasal 249 ayat (1) huruf a UU 17/2014 tentang MD3 tidak memungkinkan DPD mengikutsertakan diri. Padahal secara teori perwakilan antara DPD dan DPR mempunyai legitimasi yang sama yakni sama-sama dipilih orang rakyat secara langsung.

Paradigma kedaerahan vs partai politik

Teori legitimasi rakyat merupakan dimensi ideal untuk menakar sejauh mana kedaulatan rakyat dititipkan kepada orang yang mewakilinya. Ketika masyarakat memilih seorang anggota DPD (senator) di biliki suara pada waku pemilu berlangsung maka pada saat itu juga kepentingan masyarakat diberikan sepenuhnya kepada DPD agar aspirasinya di sampaikan saat rapat negara berlangsung. Masyarakat titipkan suaranya ke orang yang menurutnya layak dan pantas agar orang yang menerima suara itu bisa mengawasi seutuhnya kinerja lembaga eksekutif. Apa yang terjadi ketika suara masyarakat yang diembannya itu tidak mampu disampaikan kepada DPR maupun Presiden. Maka yang terjadi ialah tidak berfungsinya sistem check and balances dari salah satu lembaga tinggi negara.

Kerancuan-kerancuan di atas mengakibatkan postur lembaga DPD kian mengerdil. Salah satu cara untuk mengurai persoalan itu ialah dengan kinerja yang baik agar minimal kesan masyarakat terhadap lembaga senat Indonesia tidak lagi negatif. Masa depan kelembagaan DPD akan buruk jika problematika yang sudah disampaikan di atas tidak sesegera mungkin diselesaikan. Political will dibutuhkan baik oleh DPR maupun Presiden untuk mendudukan DPD sebagaimana mestinya. Penambahan fungsi dan wewenang sangat perlu dilakukan guna mengoptimalkan keberadaan DPD agar tidak menjadi mubazir.

Ide untuk menyetarakan lembaga tinggi negara pada waktu amandemen konstitusi rupa-rupanya tidak tercermin dalam realitas ketatanegaraan Indonesia pasca reformasi dimana DPD hanya dijadikan lembaga “nomor dua” sampai-sampai internal DPD di intervensi partai politik. Jelas hal itu bertentangan dengan semangat reformasi yang mencita-citakan sistem check and balances antara lemaga eksekutif dan legislatif bisa saling mengontrol satu sama lain. Apa boleh buat nasi sudah menjadi bubur. Langkah ke depan yang bisa dilakukan ialah upaya-upaya represif agar kemudaratan yang sudah terjadi tidak meluas ke dalam aspek-aspek lain.

Bangunan dasar yang membuat sebuah negara berdiri kokoh ketika daulat rakyat di junjung tinggi dalam kehidupan bernegara. Kedaulatan rakyat yang di ejawantahkan dalam konstitusi belum sepenuhnya terlaksana seperti yang dicita-citakan. Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berbunyi “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dijalankan sepenuhnya berdasarkan undang-undang dasar” secara eksplisit norma tersebut mengandaikan rakyat menjadi pemegang kekuasaan tertinggi dan negara dititipkan untuk menunaikan apa yang menjadi kewajibannya.

Jika mengikuti logika Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 maka kebijakan negara harus menuruti suara-suara yang disampaikan masyarakat. Saat kebijakan negara membelot dari aspirasi rakyat maka pada saat itu juga ide kedaulatan rakyat gugur dari idealitanya. Banyak peristiwa sejarah menggambarkan konfrontasi kedua belah pihak itu terakumulasi hingga pada titik klimaks. Untuk mengakhiri konflik yang berdarah-darah itu maka konsep badan perwakilan muncul sebagai salah satu jawaban. Jawaban itu terwakilkan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 yang berbunyi “Indonesia adalah Negara Hukum”.

Indonesia merupakan negara hukum yang menganut prinsip-prinsip demokrasi. Terminologi lain dari istilah di atas ialah negara yang berdasarkan nomokrasi dimana demokrasi di dasari konstitusi atau demokrasi konstitusional. Konsep demokrasi konstitusional mengandaikan sebuah tatanan hukum yang mencerminkan nilai-nilai kedaulatan rakyat. Salah satu institusi yang mewakili konsep tersebut yaitu kelembagaan DPD yang merepresentasikan suara rakyat daerah dan kelembagaan DPR yang mewakili suara partai politik.

Member Of

Dengan semboyan “Nulla Tenaci In Via Est Via” yang mempunyai arti “Bagi orang yang mau terus berjuang, tidak ada jalan yang tidak bisa dilewati”.

Sosial Media

©2023 Powered Anaslawoffice