Kegemparan publik terasa seketika putusan Mahkamah Konstitusi 90/PUU-XXI/2023 dibacakan ihwal pengujian batas minimal usia capres/cawapres. Fakta itu bisa disebut sebagai kulminasi membusuknya moral berbangsa karena penerabasan batas-batas etika. Salah satu indikasi terjadinya pelanggaran etika yakni keikutsertaan ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman dalam penyelesaian perkara tersebut. Seperti diketahui ketua Mahkamah merupakan paman dari pihak yang menjadi obyek dalam perkara itu, Gibran Rakabuming Raka sebagai Walikota Solo.
Pupil terbelalak adalah ekspresi yang tepat untuk menggambarkan suasana kebatinan masyarakat sesaat mendengar putusan tersebut. Semua menggantungkan pertanyaan tentang apakah putusan itu merupakan cermin bahwa Indonesia bukan lagi negara hukum (rechtsstaat) melainkan negara kekuasaan (machtstaat). Tentu tidak sederhana menjawabnya, namun yang pasti adalah piranti hukum sudah dipermainkan oleh tangan-tangan penguasa. Penguasa yang congkak dan menganggap kuasanya wajib diturunkan melalui jalur kekerabatan (politik dinasti).
Permainan kekuasaan yang dimaksud dapat disepadankan dengan perangai negara kekuasaan (machtstaat) yang memiliki tendensi despotik. Meminjam ucapan Rocky Gerung yang membayangkan dalam pikirannya bahwa ada seorang bocah yang baru saja menjadi ketum sebuah parpol, menelpon suami dari bibinya dan meminta agar meloloskan kakaknya yang adalah Walikota supaya dapat berkompetisi dalam Pilpres 2024 atas permintaan bapaknya. Apakah bayangan itu benar adanya? Mungkin benar, mungkin juga tidak. Jika itu memang terjadi, lantas argumentasi semacam apa yang bisa membantah bahwa itu bukan merupakan pembusukan politik (political decay). Hukum telah binasa didepan cengkeraman politik atau ada tangan tersembunyi yang memegang kendali hukum di negeri ini. Hukum sekedar permainan catur bagi mereka yang mempunyai kekuasaan. Agaknya, situasi itulah yang sedang terjadi dalam perkara 90/PUU-XXI/2023 yang diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi beberapa waktu lalu.
Benturan kepentingan
Masyarakat sudah mendesak jauh-jauh hari agar ketua Mahkamah, Anwar Usman mengundurkan diri sebagai hakim konstitusi karena probabilitas adanya conflict of interest dikemudian hari. Lacurnya, peringatan itu tidak diindahkan sama sekali, justru merespon bahwa itu adalah hak asasinya sebagai manusia yang ingin memiliki hubungan pernikahan dengan siapapun, termasuk saudari dari Presiden. Akibatnya konflik kepentingan tidak dapat lagi dicegah seperti kasus yang saat ini sedang ramai diperbincangkan. Pertanyaan sederhananya, apakah etika berbangsa telah terkubur oleh karena nafsu kekuasaan?.
Salah satu adagium hukum berbunyi “nemo judex in causa sua” bahwa hakim tidak boleh memutus/mengadili perkara dirinya sendiri atau dimana ia memiliki kepentingan. Prinsip itu amat fundamental dan sangat jelas dinegasikan oleh hakim Anwar Usman melalui kehadirannya dalam putusan 90/PUU-XXI/2023. Indikasi adanya benturan kepentingan dapat ditengok dalam risalah putusan tentang pendapat berbeda (dissenting opinion) hakim Wahiduddin Adams pada poin [6.11] yang mendaku bahwa ‘”seharusnya secara yuridis dan teknikalitas sangatlah sederhana untuk diputus oleh Mahkamah, tetapi seolah-olah menjadi sangat kompleks sebagai akibat dari terlalu bersarnya dosis penggunaan aspek-aspek non-yuridis yang secara kontekstual sulit dipungkiri sangat menyelimuti dinamika persidangan terhadap perkara ini”.
Ungkapan Wahiduddin Adams merupakan sebuah isyarat tentang deviasi Mahkamah dalam memutus sebuah perkara yang sejatinya bukanlah isu konstitusional melainkan tupoksi pembentuk undang-undang (legislative review). Para hakim yang berbeda pendapat menilai putusan ini amat kental dengan judicial politicization sebab jauh dari batas penalaran yang wajar (ratio legis). Elaborasi pendapat itu bisa ditilik dari legal reasoning putusan empat hakim (Saldi Isra, Wahiduddin Adams, Arif Hidayat, Suhartoyo). Sebagai satire, beberapa pakar hukum tata negara menyebut pendapat berbeda dari empat hakim diatas bukan sebagai dissenting opinion melainkan sebagai angry opinion karena ke-abnormalan putusan tersebut yang selama Mahkamah berdiri belum ada situasi dan keadaan serumit ini.
Kejanggalan seperti penjadwalan sidang yang terkesan lama dan ditunda, inkonsistensi hakim yang tampak dalam rapat permusyawaratan hakim, penarikan dan pembatalan penarikan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 dan 91/PUU-XXI/2023, serta misteri kehadiran dan ketidakhadiran hakim Anwar Usman dalam perkara yang berbeda dengan pokok pembahasan yang sama. Keanehan itu sudah diuraikan secara gamblang dalam bagian dissenting opinion putusan 90/PUU-XXI/2023. Anwar Usman yang notabene sebagai paman Gibran Rakabuming Raka (pihak yang menjadi obyek permohonan perkara) sudah terlibat dalam pusaran isu kontroversial ini sejak lama.
Desas-desus adanya penyalahgunaan wewenang dimulai sejak kehadirannya beberapa waktu silam pada 9 September 2023 di Universitas Islam Sultan Agung dalam rangka memberi kuliah umum. Pada sesi itu, ia menyinggung sekaligus mendukung adanya peran anak muda didalam pemerintahan. Secara normal, memang tidak ada yang salah ataupun keliru dengan ucapan itu. Namun persoalannya adalah saat itu dirinya adalah ketua Mahkamah Konstitusi yang sedang menyelesaikan perkara di Mahkamah Konstitusi tentang gugatan batas usia minimum capres/cawapres yang mana Gibran Rakabuming Raka sebagai obyek perkara itu. Persis dititik itulah hakim Anwar Usman melanggar kode etik sekaligus mencela etika kenegarawanannya sebagai hakim konstitusi yang agung.
Kode etik hakim menjelaskan bahwa “hakim tidak boleh memberi keterangan, pendapat, komentar, kritik atau pembenaran secara terbuka atas suatu perkara atau putusan pengadilan baik yang belum maupun yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam kondisi apapun”. Skeptisisme publik akan tegaknya independensi hakim konstitusi perlahan mulai memudar sejak peristiwa kuliah umum itu terjadi. Pada akhirnya putusan MK dapat dimaknai sebagai “dramaturgi kandidasi pilpres” karena tersemainya orkestrasi politik untuk meloloskan anak dari Presiden sebagai capres/cawapres 2024. Common sense publik dapat secara cepat menangkap kejanggalan yang ada pada tubuh Mahkamah, sekaligus mengafirmasi bahwa penguasa melalui berbagai upayanya hendak membentangkan karpet merah kuasanya pada jalur politik dinasti sekalipun. Inferensi semacam itu yang membuat banyak pihak merasa jengkel dan marah sehingga menyematkan lembaga MK bukan lagi sebagai Mahkamah Konstitusi melainkan Mahkamah Keluarga.
Quo Vadis Mahkamah Konstitusi ?
Bagian menarik dissenting opinion hakim Saldi Isra terletak diakhir uraiannya yang berbunyi, “jika pendekatan dalam memutus perkara sejenis seperti ini terus dilakukan, saya sangat sangat sangat cemas dan khawatir Mahkamah justru sedang menjebak dirinya sendiri dalam pusaran politik dalam memutus berbagai political questions yang pada akhirnya akan meruntuhkan kepercayaan dan legitimasi publik terhadap Mahkamah. Quo vadis Mahkamah Konstitusi?”. Kejujuran Saldi Isra untuk merefleksikan situasi keanehan dalam tubuh Mahkamah merupakan satu dari banyak hal yang patut untuk disyukuri.
Bahkan ucapan terimakasih layak dialamatkan kepada para hakim yang pendapatnya berbeda (dissenting opinion) karena dari merekalah satu persatu benang kusut Mahkamah mulai terurai dan bisa dirajut ulang. Empat hakim konstitusi itu seakan mencoba membuka kontak Pandora yang selama ini terhalang oleh bongkahan batu besar yang bernama ambisi kekuasaan. Dengan adanya upaya melaporkan hakim ketua Anwar Usman kepada Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) walau belum ada institusinya, atas dasar pelanggaran kode etik hakim konstitusi merupakan sebuah langkah awal guna memutus mata rantai problematika Mahkamah yang selama ini tertungkus-lumus.
Berkaca pada putusan 90/PUU-XXI/2023, kelihatannya kredo hukum bersalin bukan lagi tegakkan keadilan walau langit akan runtuh (ruat caelum fiat Justitia) melainkan tegakkan dinasti walau langit akan runtuh (ruat caelum fiat dunasteia). Sejalan dengan perkataan Budiman Tanuredjo (Harian Kompas, 2023) masyarakat menangkap MK bukan lagi semata-mata sebagai the guardian of constitution melainkan juga mengamankan kepentingan politik melalui jalur judikatif. Preskripsi asumsi diatas terpampang jelas dalam keanehan serta misteri yang telah teruraikan dalam putusan tersebut.
Peristiwa yang menggemparkan ini oleh masyarakat dianggap sebagai luruhnya mahkota Mahkamah. Jika survei dilakukan hari ini dengan pertanyaan “apakah masyarakat percaya bahwa independensi Mahkamah Konstitusi masih terjaga”, penulis hakulyakin bahwasannya rasa kepercayaan publik terhadap Mahkamah Konstitusi berada dititik tercuram. Sungguh mengerikan, bahwa memang pendulum rasa kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penegak hukum seperti MK sangatlah tipis dibandingkan lembaga negara lainnya. Masyarakat membubuhi public trust itu melalui legal reasoning hakim konstitusi yang masuk akal dan dapat diterima dengan akal sehat. Bilamana masyarakat disuguhkan putusan MK dengan model seperti putusan 90/PUU-XXI/2023, maka rasa kepercayaan yang tipis itu akan ranggas ditelan waktu dan Mahkamah Konstitusi benar-benar akan kehilangan mahkota sucinya.
Ketika hari demi hari, public distrust menggerogoti institusi hukum lantas lembaga MK terus membusuk, pertanyaannya bagaimana nasib pemilu pilpres, pileg, dan pilkada 2024 yang sudah dipelupuk mata itu. Apakah suatu saat nanti ketika MK meyidangkan dan memutus perkara hasil Pilpres/Pileg/Pilkada, masyarakat bisa menerima dan mentaati putusan tersebut seperti pada pilpres/pileg 2014 dan 2019? Tentu sulit berkata ‘iya/menerima’ mengingat kondisi Mahkamah yang saat ini berada dititik nadir. Kita tidak ingin itu terjadi karena terlalu banyak hal yang harus dikorbankan seperti demokrasi, kelembagaan yang telah terbentuk, dan tentunya kohesi sosial.
Sebagai penutup, menyitir tulisan Syamsul Arifin (Harian Kompas, 2023) bahwa selama keadaban tidak diperhatikan, demokrasi kita menurut Mohammad Hatta, “hanya akan memberikan kesempatan kepada berbagai jenis petualang politik dan ekonomi serta manusia profitir maju ke muka dan akhirnya korupsi serta demoralisasi merajalela”. Apa yang perlu dibenahi yaitu mengembalikan makna primer dari demokrasi kepada empunya yakni daulat rakyat. Biarkan demokrasi tumbuh bersama kehendak rakyat tanpa “cawe-cawe”, laksana bunga mawar yang kadangkala dibasuh rinai hujan dan disuluh terik mentari. Begitulah seharusnya demokrasi bekerja.
Nama : Durohim amnan
©2023 Powered Anaslawoffice