Drama politik dalam kasus tindak pidana korupsi yang menimpa Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto tampaknya sampai pada titik klimaks. Dimensi politik yang amat kental mengiasi jalannya penyelesaian perkara tersebut membuat banyak kalangan mempersoalkan putusan itu. Anggapan umum yang menyeruak yaitu bahwa hukum digunakan sebagai alat kepentingan politik.
Belum genap sebulan, putusan Pengadilan yang memvonis Tom Lembong dan Hasto dalam kasus tindak pidana korupsi disikapi Pemerintah dengan mengeluarkan produk abolisi dan amnesti yang terdengar asing di telinga masyarakat awam. Hal ini semakin memperunyam keadaan bahwa tangan kekuasaan dapat dengan mudah menyingkirkan segala macam hal.
Patut diakui bahwasannya putusan Pengadilan Tipikor terhadap Tom Lembong memang problematik dikarenakan pertimbangan hukum Majelis Hakim yang begitu rapuh. Sedangkan dalam kasus Hasto, drama penangkapan Harun Masiku yang tak kunjung usai memperlihatkan bagaimana keberpihakan penegakan hukum bukan semata-mata untuk keadilan itu sendiri melainkan kepentingan kekuasaan. Pengakuan akan adanya politisasi kedua kasus itu memang nyata adanya.
Namun menggunakan produk kekuasaan seperti amnesti dan abolisi bukanlah jawaban yang tepat untuk menyudahi permasalahan tersebut. Hal ini justru bisa dianggap kebalikannya yaitu tangan kekuasaan yang mengintervensi kewenangan yudikatif dapat mengakibatkan kesewenang-wenangan. Fenomena semacam ini bisa mengarahkan kekuasaan pada perilaku otoritarian.
Hukum yang transaksional
Pengampunan dan penghapusan pidana terhadap dua kasus diatas setidaknya dapat berimplikasi terhadap dua hal. Pertama, hukum diselesaikan lewat transaksi politik. Pemberian amnesti dan abolisi dari Prabowo Subianto sebagai Presiden RI -disadari atau tidak- membuat publik semakin yakin bahwa produk hukum bisa dikalahkan dengan produk politik.
Indonesia bukanlah negara kekuasaan (machstaat) yang menempatkan penguasa sebagai alat maupun tujuan. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyatakan Indonesia merupakan negara hukum (rechtstaat) dimana hukum merupakan instrumen untuk mencapai tujuan bernegara, salah satunya tujuannya untuk menghadirkan penegakan hukum yang adil.
Penegakan hukum yang adil menuntut agar penegakan hukum berjalan sesuai dengan proses yang adil (due process of law) sebagai bagian dari pengejawantahan konsep negara hukum. Hal ini sebagai akibat dari kecambah reformasi yang menginterupsi ekspansi kekuasaan eksekutif (executive heavy) dalam segala hal dan beralih pada paradigma demokratis.
Namun saat ini dengan diterbitkannya produk abolisi dan amnesti seolah mengulangi kembali kebiasaan buruk rezim otoriter yang dahulu telah ditolak. Pengampunan dan penghapusan delik tindak pidana korupsi terhadap dua kasus diatas membuat asumsi derogatif yang selama ini terbangun benar-benar terbukti.
Asumsi penyanderaan politik oleh kekuasaan terhadap Hasto sebagai elite politik dan Tom Lembong sebagai Menteri Perdagangan di tahun 2015 mengingatkan betapa pentingnya penegakan hukum yang steril dari konflik kepentingan. Penegakan hukum yang di orkestrasikan demi kepentingan politik bukan saja menelanjangi ide negara hukum melainkan juga mengingkari kesepakatan luhur untuk menegakkan Konstitusi dan Pancasila secara konsekuen.
Ketika penegakan hukum dijadikan alat kekuasaan untuk “menghukum” lawan politiknya maka yang terjadi ialah praktik hukum rimba dimana pihak yang kuat akan menghunus pihak yang lemah. Fenomena ini lazim terjadi dalam lanskap negara otoriter bahwa kekuasaan tidak boleh dilawan, dikritik, dimusuhi karena yang diinginkan hanyalah keseragaman (tunggal). Berbeda dengan Indonesia yang sejak awal kemerdekaan dimaksudkan agar ide keberagaman-lah yang justru harus dihargai, diasuh dan dilindungi negara.
Sukar untuk mengatakan bahwa produk abolisi dan amnesti bukan hasil dari hitung-hitungan politik. Walaupun narasi yang dibangun pemerintah ialah demi kesatuan bangsa, namun prasangka tentang berlangsungnya transaksi politik dibelakang layar sudah terlanjur basah. Skeptisisme tersebut sangatlah masuk akal mengingat adanya kekuatan politik besar yang menghantui kedua proses hukum tersebut.
Preseden buruk
Kedua, obesitas kekuasaan. Disamping adanya dugaan intervensi kekuasaan yang merongrong proses penegakan hukum Tom Lembong dan Hasto, hal lain yang patut disiasati ialah kekuasaan eksekutif yang amat besar. Keputusan untuk mengeluarkan produk abolisi dan amnesti yang kemudian serta-merta disetujui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menggambarkan betapa besarnya kekuasaan rezim Prabowo.
Ditengah-tengah kegaduhan, Prabowo seketika mengeluarkan dua produk itu tanpa adanya sekrutinisasi dari masyarakat. Tidak genap sehari, usulan tersebut diamini tanpa partisipasi publik. Tentu ini bukan sekedar persoalan berapa lama waktu yang dibutuhkan. Lebih dari itu, persepsi terhadap perwakilan rakyat yang seolah menganggap suara masyarakat tidaklah penting kian menjadi-jadi.
Kejadian ini tentunya menjadi preseden buruk dalam upaya menghadirkan tata kelola pemerintahan yang transparan dan akuntabel. Bukan produk abolisi dan amnestinya yang dipersoalkan publik melainkan bagaimana proses beleid itu disahkan. Kondisi ini disadari atau tidak kembali mengulang kesalahan rezim pemerintahan sebelumnya yang kerap menanggalkan partisipasi publik.
Keikutsertaan publik dalam menentukan kebijakan/keputusan lambat laun sengaja diperkecil. Padahal konstitusi meletakkan masyarakat sebagai simpul kedaulatan yang bisa diartikan suaranya harus selalu didengarkan. DPR sebagai perwakilan rakyat hanya sebatas merepresentasikan sebagian kepentingan politik bukan mewakili kedaulatannya. Hal ini bisa disimpulkan bahwa partisipasi publik sedikitpun tidak boleh dikesampingkan.
Saya menilai bahwa situasi semacam ini disebabkan oleh niihilnya oposisi di lembaga legislatif. Untuk menjaga kualitas demokrasi, pemerintahan harus dilangsungkan dengan pengawasan ekstra. Seperti pepatah Lord Acton bahwa kekuasaan yang mutlak berpotensi melakukan penyelewengan yang mutlak pula. Oleh karenanya, sistem check and balances antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif menjadi syarat mutlak. Setidak-tidaknya meminimalisir potensi penyelewengan.
Preseden buruk ini harus dihentikan agar kehidupan bernegara tidak dijalankan atas dasar ‘sosok’ melainkan berdasarkan sistem yang dibangun (system building). Sudah banyak contoh negara yang mengandalkan sosok dan pada akhirnya terjerembab pada kubangan otoritarian. Pembangunan sistem bernegara -dalam hal ini sistem hukum- lebih menjamin bekerjanya mekanisme pengawasan agar terhindar dari kesewenang-wenangan ‘sosok’ yang tadinya dielu-elukan. Tentu keterlibatan masyarakat sipil sebagai kelompok terdidik (epistemic community) menjadi harga yang tidak boleh ditawar.
©2023 Powered Anaslawoffice