Senin - Sabtu 08.00-15.00

cs@anaslawoffice.com

Kritikus dan Distorsi Kebebasan

 

Kritikus dan Distorsi Kebebasan

Kebebasan merupakan sinonim dari demokrasi. Membicarakan demokrasi tanpa kebebasan ibarat buah kurma yang dipetik dari pohon anggur, dengan kata lain: tidak mungkin. Condition sine qua non sebuah negara dapat dikategorikan demokratis ialah kentalnya nuansa kebebasan dalam mengekspresikan sesuatu, lebih-lebih sesuatu yang mengganggu kemapanan penguasa. Demokrasi dan kebebasan harus diletakan dalam satu paket berfikir karena ia saling menegaskan, bukan menegasikan.

Indonesia menasbihkan diri sebagai negara demokrasi melalui Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang kemudian dipayungi oleh nilai konstitusionalisme yakni Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Mahfud MD lebih senang menyebutnya sebagai negara demokrasi konstitusional (nomokrasi) bukan negara kekuasaan (machstaat). Apabila mengikuti logika berfikir di atas maka kedaulatan sepenuhnya berada pada rakyat dan dijamin oleh hukum. Negara sebagai pelaku, wajib memproteksinya dari pihak-pihak yang ingin merongrong kebebasan orang lain.

 

Labirin hukum

Bagaimana jika negara gagal menjalankan tugasnya atau justru negara-lah yang melakukan pelanggaran tersebut? Pertanyaan itu sangat relevan jika dikaitkan dengan polemik yang saat ini sedang gandrung. Kasus pidana yang menjerat Haris-Fatia dan Rocky Gerung adalah peristiwa yang menyingkap katup kekuasaan yang dikelilingi oleh gigantisme. Potret itu terejawantahkan dalam sikap feodal para relawan yang bermuara dibahu “fanatisme”. Tampaknya jeratan feodalisme masih berseliweran dalam tubuh Republik ini sehingga tak bisa membedakan kritik dan hinaan.

Pemaparan hasil riset beberapa koalisi masyarakat sipil dibalas dengan laporan “pencemaran nama baik”, dan kritik tajam dianggap membuat “keonaran”. Haris-Fatia diadukan atas dalih penyiaran berita bohong dengan menggunakan Pasal 14, 15, 310 ayat (1) KUHP dan Pasal 27 ayat (3), 45 ayat (3) UU ITE. Sedangkan Rocky Gerung dilaporkan karena dianggap menyebar ujaran kebencian dan lakunya mengakibatkan suasana keonaran melalui Pasal 286 ayat (2), 45 ayat (2) UU ITE serta Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.

Ada banyak keganjalan dalam aksi pembungkaman itu, pertama, bukankah Haris-Fatia menyampaikan hasil riset koalisi masyarakat sipil terhadap proyek LBP yang ada di Papua. Logika sederhananya, bukankah hasil riset (penelitian) seyogianya ditapis oleh hasil riset pula bukan justru berujung pada laporan kepolisian. Lebih elok jika pihak LBP menghadirkan sajian data untuk menampik data/fakta yang telah dipaparkan oleh Hkearis-Fatia dalam podcast tersebut. Dengan cara itu masyarakat luas bisa menilai dan menyimpulkan pandangannya sendiri, sekaligus lewat dialog tersebut rakyat diberi pendidikan mengenai cara berdiskursus dengan baik.

Kedua, dalam hal ini Haris-Fatia dan Rocky Gerung menyampaikan kritik dengan maksud menjalankan tugasnya sebagai warga negara untuk senantiasa mengawasi-mengontrol jalannya pemerintahan. Seharusnya bukan problem hukum yang mereka hadapi, melainkan penghargaan sebagai bentuk apresiasi karena sudinya menjadi sparing partner negara melalui kritik-konstruktif guna membangun peradaban Indonesia menjadi lebih baik. Apalagi mereka sebagai pejabat publik yang diperintahkan oleh rakyat untuk bekerja sebagaimana mestinya. Wajar jika rakyat sebagai sang-tuan mengkritik kinerjanya karena

 

dianggap bekerja tidak becus. Filosofinya yaitu rakyatlah yang harusnya melapor pembantunya karena lalai dalam bekerja, bukan justru sebaliknya.

 

Hukum Alat Penguasa

Ketiga, acap kali pada tahun mendekati pemilu, hukum bekerja secara eksesif, apalagi jika itu beririsan dengan pusat kekuasaan. Lontaran-lontaran kritikus di tahun politik memang rentan dipersekusi. Mengingat tahun politik sudah dipelupuk mata, para relawan kian masif mencari gerakan tambahan atau semacam intrik untuk mengundang kontroversial. Upaya itu dilakukan agar mendapat simpatisan masyarakat demi meraup pundi-pundi ceruk suara. Dengan kata lain, persekusi itu memang dimobilisasi sedemikian rupa untuk menjatuhkan “lawan” guna mendongkrak elektabilitas. Usaha mempidanakan seseorang merupakan metode jitu dan sudah menjadi preseden sejak lama.

Biasanya penegak hukum akan secara cepat memproses bila laporan itu tertuju pada sosok yang berlawanan terhadap penguasa dan sebaliknya. Tentu perilaku semacam itu sudah menjadi rahasia umum dan masyarakat menyebutnya sebagai “hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas”. Dua kasus diatas harus dilihat secara utuh dan tidak bisa menggunakan kacamata kuda. Lontaran dan kritik yang disampaikan tiada lain tiada bukan sebagai bagian kontrol masyarakat.

Bukankah kritik semacam itu justru harus disiasati sebagai vitamin demokrasi, bukan malah dianggap ancaman. Kurangnya pemahaman tentang demokrasi membuat banyak pihak menyalahartikan makna kritik. Kritik dalam alam demokrasi harus diartikan sebagai nilai intrinsik yang mau tidak mau harus diterima. Berbeda dengan negara totaliter dimana penguasalah yang mengendalikan seluruh aspek bernegara. Demokrasi menjamin kebebasan berbicara, karena menempatkan kedaulatan ditangan rakyat dan memosisikan pejabat publik sebagai pembantunya. Jadi wajar jika kritik dilontarkan dengan cara yang keras dan tajam sekalipun karena rakyat sebagai pengkritik memiliki kedaulatan yang dijamin oleh konstitusi.

Kebebasan bagi Albert Camus bukanlah sebuah hadiah cuma-cuma, melainkan sesuatu yang harus diperjuangkan. Dengan ini Albert Camus ingin menegaskan bahwa dalam rezim apapun, apalagi yang paling totaliter dan represif, kita jangan bermimpi akan memperoleh kebebasan secara cuma-Cuma. Maka perjuangan untuk mendapat kebebasan tidak akan berhenti sampai kapanpun dan wajar apabila di dalam negara demokratis kebebasan juga harus terus diperjuangkan secara bersama-sama dan dengan upaya sendiri.

Oleh : DUROHIM AMNAN.

Member Of

Dengan semboyan “Nulla Tenaci In Via Est Via” yang mempunyai arti “Bagi orang yang mau terus berjuang, tidak ada jalan yang tidak bisa dilewati”.

Sosial Media

©2023 Powered Anaslawoffice