Harmonisasi Kaum Intelektual dan Istana

Komunitas akademik yang harusnya berdiri sebagai benteng terakhir dalam menyuarakan kepentingan publik, lambat-laun tersandera dengan busana kekuasaan Presiden yang mereka anggap “sempurna”. Hal ini kemudian membuat publik bertanya-tanya kepada siapa lagi mereka titipkan aspirasinya.

Kaum intelektual selalu identik dengan pikirannya yang bebas, kritis, independen, dan berpihak pada kebenaran. Perlu digaris bawahi bahwa kaum intelektual yang dimaksud bukan hanya mereka yang kesehariannya menggeluti dunia kampus melainkan mereka yang mengaku sebagai pembela kebenaran yang sikapnya kerap diasosiasikan berpihak pada kepentingan publik (Rocky Gerung, 2024). Siapapun itu.

Sebagai refleksi kemerdekaan, kita tahu bagaimana kemerdekaan bangsa Indonesia pun diperoleh dan diperjuangkan melalui rangkaian narasi-narasi kritis. Diseminasi ide tentang kebebasan manusia, kesetaraan hak individu, anti kolonialisme, et cetera yang pada intinya menolak monopoli kekuasaan kolonial setidaknya memberikan kita makna betapa kekuasaan harus selalu basah oleh pantauan nalar kritis.

Pantauan dan kritik disini bukan dalam arti hendak merongrong pemerintahan yang sah, apalagi perbuatan makar, melainkan perlawanan secara naratif supaya publik tidak sekedar disuguhi narasi tunggal kekuasaan yang memang per se selalu ingin mendominasi percakapan. Pada titik ini lah sekiranya kebutuhan akan kecerdasan kelompok intelektual menjadi sebuah keniscayaan guna menandingi pola komunikasi penguasa yang hegemonik.

Pada hakekatnya kekuasaan tidak perlu dibela. Bahkan tanpa pembelaan pun, kekuasaan sudah berlebih. Pada saat kepentingan publik dibenturkan dengan kepentingan kekuasaan maka tanggung jawab tersebut harus diambil alih oleh kelompok intelektual sebab kelompok ini lah yang secara logis paling mungkin bisa menandingi narasi peguasa.

Namun kondisi ideal semacam itu tidak melulu serupa dengan praktek dilapangan. Situasi paradoks terjadi ketika kelompok intelektual menanggalkan tanggungjawabnya sebagai penyambung lidah publik dan justru berlindung dibalik punggung penguasa. Disinilah titik keterputusan relasi yang ideal antara masyarakat dan kelompok intelektual terjadi sehingga membuat posisi masyarakat semakin rapuh.

Fenomena mengguritanya hubungan mesra antara penguasa dengan intelektual terlihat hari-hari ini. Semenjak Prabowo menggatikan Jokowi sebagai Presiden Republik Indonesia, sosok yang tadinya independen dan bersuara lantang rupa-rupanya dalam sekelebat berbalik arah. Tokoh oposisi seperti Rocky Gerung misalnya, orang yang dikenal mengkritik habis-habisan hampir seluruh kebijakan Jokowi selama 10 (sepuluh) tahun tiba-tiba lebih banyak bergeming.

Dalam batas penalaran yang wajar, sah-sah saja jika warga negara memilih untuk memberikan pujian atau kritikan terhadap kebijakan penguasa sebab itu merupakan haknya. Namun sikap tersebut agaknya sukar dibenarkan, khususnya kepada mereka yang sudah terlanjur mendapat pengakuan (rekognisi) sebagai intelektual publik.

Posisi kritis dari kelompok intelektual menjadi begitu penting hari-hari ini jika melihat postur kekuasaan Prabowo yang amat besar (ekstensif). Praktis, setelah “drama” pemberian Amnesti Hasto Kristiyanto, Ketua Umum PDIP memberi himbauan agar seluruh kadernya mendukung seluruh kebijakan Presiden Prabowo. Keadaan itu membuat konstelasi lembaga legislatif sepenuhnya berada dipihak Pemerintah, sebab tidak ada satu pun partai politik di parlemen yang mengambil jarak sebagai oposisi Pemerintah.

Selain itu, penetrasi kekuasaan beberapa waktu lalu dengan memunculkan kembali revisi UU MK bisa dibaca sebagai upaya pelemahan lembaga kekuasaan kehakiman. Keadaan semacam ini semakin membuat kekuasaan eksekutif tak terbendung sekaligus menenggelamkan kerja mekanisme check and balances.

Menguatnya kekuasaan eksekutif (executive heavy) dalam praktek sistem ketatanegaraan semacam ini merupakan sinyalemen bangkitnya gejala otoritarianisme rezim Orde Baru. Kasusnya serupa, kekuasaan Presiden berjalan tanpa pengawasan. Legislatif sekedar lembaga stempel pemerintah dan Yudikatif bekerja untuk membenarkan secara hukum kebijakan Presiden.

Berdasarkan fakta tersebut, urgensi kehadiran kelompok intelektual menjadi suatu keharusan. Bukan semata-mata unjuk kebolehan melainkan membentengi kepentingan publik dari potensi kesewenang-wenangan penguasa. Ironisnya, kelompok intelektual yang dimaksud sedang sibuk mencari suaka di istana. Dengan alasan apapun, sikap itu jelas-jelas mengingkari statusnya sebagai warga negara yang dibekali pengetahuan penuh.

Kondisi ini oleh Hannah Arendt (1963) dalam bukunya the Banality of Evil disebut sebagai banalitas kaum intelektual. Arendt menjelaskan bagaimana kekuasaan Hitler yang melahirkan absolutisme justru dibenarkan oleh kelompok intelektual. Simtom semacam inilah yang membuat eropa dalam kondisi katastropis.

Ketika kekuasaan dijalankan nir-pengawasan maka kehancuran tinggal menghitung waktu. Sudah banyak contoh negara gagal yang mengelu-elukan “sosok Presiden” dan pada akhirnya bermuara pada otoritarianisme. Bahkan Indonesia sendiri pernah mengalami itu di masa pemerintahan Orde Baru. Kenapa bangsa ini tak pernah belajar dari sejarah ?

Absennya kelompok intelektual dalam ruang publik hari-hari ini bisa dibaca sebagai gejala awal otoritarianisme. Mereka seolah terbius oleh wajah kekuasaan Prabowo yang dianggapnya rupawan, kuat, dan tegas sembari mengenyampingkan kritik kebijakan yang merupakan tanggungjawabnya. Jangan sampai negeri ini seperti keledai yang jatuh dua kali ke lobang yang sama.

Dalam rangka menghindari situasi tersebut, mekanisme kontrol yang saat ini sangat diperlukan mau tidak mau harus diemban oleh seluruh warga negara yang masih berakal sehat. Upaya ini dilakukan agar Republik yang sudah didirikan dengan fondasi pikiran ini tidak mudah diruntuhkan oleh “kelompok intelektual” yang konon mengaku berakal sehat.

Member Of

Dengan semboyan “Nulla Tenaci In Via Est Via” yang mempunyai arti “Bagi orang yang mau terus berjuang, tidak ada jalan yang tidak bisa dilewati”.

Sosial Media

©2025 Powered Dakreativ